Kalau tidak salah ingat, pertama kali saya mengungkapkan keinginan menjadi hakim saat kelas 3 Madrasah Aliyah. Saya utarakan niat mulia itu di hadapan wali kelas kami dan disaksikan oleh teman sekelas saya. Saat itu juga wali kelas yang sekaligus guru Bahasa Indonesia kami itu bertanya. “Samsul kalau memilih sesuatu lebih karena perasaan atau logika?” tanyanya.
Pertanyaan itu sontak membuat saya berpikir ulang. Apakah saya yakin dengan pilihan saya nantinya. Sementara selama ini nampaknya perasaan saya yang lebih berperan dalam memilih dan memutuskan sebuah perkara. Meskipun dalam prosesnya, hakim juga harus memperhatikan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Namun tetap saja, rasio dan logika hukum yang benar yang harus dikedepankan.
Pikiran tersebut sesekali masih melintas di benak saya ketika kuliah. Meskipun kemudian berlalu begitu saja, “tertindas” oleh pikiran-pikiran tentang banyak hal yang lebih realistis dan strategis kala itu. Sampai akhirnya saya dinyatakan diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)/Calon Hakim (Cakim) tahun 2017, momen dialog di siang hari dengan guru saya itu menjadi hangat kembali.
Pada akhirnya saya harus realistis. Di tengah kondisi psikologis saya yang lebih mengedepankan perasaan tadi, saya harus belajar bersikap yang adil dan logis. Tidak ada pilihan lain kecuali terus mengasah diri dalam posisi saya sebagai calon hakim sampai waktunya dilantik menjadi hakim nanti—in sya AlLah. Bahwa semua itu soal biasa atau tidak biasa. Dan agar biasa maka harus dibiasakan.
Antara (menjadi) Hakim atau Dosen
Jujur saya akui, ada dua pilihan profesi yang menggelanyuti pikiran saya ketika masih menempuh studi di Yogyakarta. Yaitu antara menjadi hakim atau menjadi dosen seperti harapan orang tua dan beberapa guru/dosen saya. Terkadang lebih cenderung ingin menjadi hakim. Di saat yang lain lebih ingin menjadi dosen. Meskipun ada pertimbangan secara logis, perasaan tetap bermain pula.
Saat detik-detik pengumuman akhir CPNS/Cakim di depan mata, seorang dosen senior sempat bertanya. “Mas Samsul ini sebenarnya lebih mantap jadi dosen atau hakim?” tanyanya serius. Saya terdiam dan akhirnya menjawab bahwa saya harus realistis. Sebab untuk menjadi dosen saya belum meraih gelar S-2, sementara itu menjadi syarat mutlak. Dan lagi, belum tentu juga akan diterima.
Pikiran sederhana saya, hakim dan dosen itu saling melengkapi. Hakim itu praktisi dan dosen akademisi. Seorang hakim, bila sudah bergelar master juga berpeluang mengajar di kampus sebagai dosen luar biasa. Sebaliknya, seorang dosen dengan persyaratan tertentu juga bisa menjadi hakim (agung). Artinya, saat saya memilih menjadi hakim, pintu berbagi ilmu sebagai dosen tidak lantas terkunci.
Kalau demikian, kembali kepada niat. Bahwa profesi pun seringkali identik dengan jodoh. Aku tak pernah menunggumu dan Kau tak pernah sengaja datang namun kita diperjumpakan oleh Tuhan. Begitu kira-kira nasihat pujangga yang relevan dalam konteks ini. Memang benar bahwa ikhtiar-ikhtiar kemanusiaan itu tetap berperan. Namun di atas semua itu, peran Ilahi Rabbi yang lebih mendominasi.
Karena sudah dipertemukan dengan profesi yang mulia maka saya harus meniatkan diri untuk mengabdi dengan sepenuh hati dan ikhlas. Prinsip utamanya bukan dimana kita bekerja namun sejauh mana kita bisa berkontribusi positif dengan pekerjaan itu. Bukan perihal apa yang kita dapatkan namun lebih kepada apa yang dapat kita berikan dan sumbangsihkan.
Isyarat Baik
Saya percaya bahwa hidup adalah potongan puzzle yang saling terkait. Jauh sebelum ada informasi resmi penerimaan hakim, ustadz saya di Madrasah Aliyah dulu yang sudah menjadi wakil pengadilan sering mengingatkan. Ia mengingatkan saya tentang penerimaan hakim dan seberapa jauh persiapan saya. Ustadz yang dahulu tidak begitu dekat mengapa sekarang menjadi sedekat ini. “Ada apa ini?” pikir saya.
Isyarat itu ditambah lagi dengan stadium generale mahasiswa baru Program Studi Ahwal Syakhshiyah (PSAS) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Agustus 2017 lalu. Saya yang bekerja sebagai staf di program studi tersebut bertugas menghubungi narasumber acara tersebut. Tersebab ingin menghadirkan alumni, sampailah saya pada perkenalan dengan Achmad Fauzi, SHI.
Achmad Fauzi, SHI., adalah alumnus PSAS FIAI yang saat ini menjadi Hakim di Pengadilan Agama (PA) Tarakan, Kalimantan Utara. Ketika ia tahu bahwa saya mendaftar sebagai Cakim, ia banyak memberikan nasihat kepada saya. Termasuk memberikan wejangan, kalau sudah lolos Seleksi Kompetensi dasar (SKD) agar menghubunginya. Ia berjanji akan share materi-materi yang mungkin diujikan.
Kepercayaan diri saya sebenarnya semakin bertambah ketika seorang dosen senior juga mendorong saya untuk menjadi hakim. “Jangan lama-lama di sini!” ujarnya. “Kalau ada pendaftaran hakim daftar saja!” perintahnya. Dan pada akhirnya, isyarat-isyarat itu—bi idznilLah—menghantarkan saya pada posisi saat ini. Semoga saya bisa menjaga amanah dan suatu saat tetap bisa mengajar sebagai dosen juga. []
Samsul Zakaria, S.Sy.,
CPNS/Calon Hakim di Pengadilan Agama (PA) Tanjung,
Alumnus Program Studi Ahwal Syakhshiyah FIAI UII Yogyakarta