- Prolog.
Tanpa kita sadari semenjak kita terlahir didunia dan bahkan semenjak dalam rahim seorang ibu, kita tidak pernah terlepas dari berbagai kebutuhan. Bayangkan saja jika kita terlahir tanpa ada seorang yang membantu proses persalinan, memberi sehelai pakaian, membelikan makanan serta membelikan obat-obatan untuk seorang Ibu yang lelah setelah melahirkan kita. Disinilah peran seorang ayah kita/suami dari ibu kita untuk menyiapkan itu semua. Maka Islam sebagai pedoman hidup manusia telah mengatur dasar-dasar membelanjakan harta (nafkah) serta hukum nafkah dalam kehidupan sebuah keluarga agar terwujud sebuah keharmonisan hidup serta sebagai prinsip dalam ajaran Islam yaitu meletakan tanggung jawab kepundak seseorang sesuai kemampuan dalam mengembannya. Laa yukallifullahu Nafsan illa wus’aha”. Dan Al-qur'an sebagai sumber hukum Islam nomor wahid, sebuah kitab yang allah turunkan kepada nabi muhammad SAW melalui perantara sang malaikat pilihan "Jibril AS" yang membacanya saja bernilai ibadah apalagi memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur'an mukjizat terbesar dalam sejarah para nabi, mukjizat yang kekal sampai hari kiamat, didalamnya terdapat hikmah tak terhingga serta hukum yang membimbing manusia agar selalu bahagia. Maka pembacaan tafsir ayat-ayatnya merupakan hal urgen dalam proses menyelam lebih dalam di samudera kalam sang pencipta.
- Definisi Nafkah
Nafkah dari segi etimologi berasal dari bahasa arab yaitu: al-Infaq yang berarti : Pengeluaran. Dan kata infaq ini tidak dipakai kecuali dalam hal kebaikan. Sedangkan menurut terminologi nafkah adalah: segala bentuk perbelanjaan manusia terhadap dirinya dan keluarganya dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
III. Pembagian Nafkah
Nafkah terbagi dua:
1.Nafkah yang diwajibkan kepada seorang manusia terhadap dirinya sendiri ketika dia mampu, nafkah ini harus didahulukan sebelum ia menafkahi orang lain. Rasulullah SAW bersabda : "Ibda binafsik tsumma biman ta'ulu", artnya mulailah dari dirimu kemudian keluargamu.
- Nafkah yang diwajibkan kepada seorang manusia terhadap orang lain. kewajiban nafkah terhadap orang lain ini disebabkan karena adanya tiga faktor yaitu: hubungan pernikahan, hubungan keturunan dan hubungan perbudakan (al-milk) . Perbudakan yang sebenarnya sudah diharamkan oleh Islam karena Islam telah menyamakan status sosial manusia, hanya saja hukum fiqh selalu membahas perbudakan sebagai kontrol terhadap sistem perbudakan yang masih eksis dalam sebuah masyarakat, agar tidak terjadi kesewang-wenangan. karena sistem perbudakan tidak terhapus begitu saja setelah datangnya Islam. Hal ini disebabkan sistem perbudakan sudah menjadi tradisi sosial masyarakat yang sudah mengakar dimasa jauh sebelum Islam datang.
- Kewajiban menafkahi Istri
Seorang suami mempunyai kewajiban memberikan nafkah terhadap istrinya dalam segala kondisi baik sang istri dalam keadaan masih kecil, miskin atau kaya, muslimah atau seorang dzimi. Sampai walau seorang istri mempunyai sebuah cacat fisik yang mengakibatkan seorang suami tidak bisa bercampur dengan istrinya.
Kapan kewajiban nafkah ini diemban oleh seorang suami?
Dalam hal ini Para Ulama dari 4 madzhab sunni telah membahasnya: kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat, kewajiban nafkah belum jatuh kepada suami hanya dengan akad nikah. Kewajiban itu mulai berawal ketika sang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau ketika sang suami telah mencampurinya, atau ketika sang suami menolak membawa isterinya ke rumahnya, padahal sang isteri telah meminta hal itu darinya.
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat, kewajiban memberi nafkah ini bermula setelah berlangsungnya akad nikah yang sah; meskipun sang isteri belum berpindah ke rumah suaminya. Pendapat mereka ini dilandaskan bahwa kewajiban nafkah istri merupakan bentuk konsekuensi dari akad yang sah, karena dengan adanya akad yang sah maka sang isteri sudah dianggap menjadi tawanan bagi suaminya. Dan apabila isteri menolak berpindah ke rumah suaminya tanpa ada udzur syar’i setelah suaminya memintanya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dikarenakan isteri telah berbuat durhaka (nusyuz) kepada suaminya dengan menolak permintaan suaminya tersebut.
Ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi dalil Kewajiban Suami menafkahi istri
.
- لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما اتاه الله لأ يكلف الله نفسا الأ ما اتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا (الطلا ق : 7)
Artinya: Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanyaa. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. at-Talaq : 7)
- Al-Alusi dalam tafsirnya ruhul ma'ani memberikan interpretasi pada ayat ini :
Lafadz (قدر) diberi makna (ضيق) yang berarti disempitkan, dan ayat ( فلينفق مما اتاه الله) berarti :maka hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya walaupun sedikit sesuai apa yang ia dapatkan, dan yang diperintahkan nafkah dalam ayat ini adalah seorang bapak/suami. Ia mengutip perkataan Ibnu arabi bahawa ayat ini merupakan dasar kewajiban nafkah terhadap seorang bapak. Lain halnya dengan pendapat Muhammad bin Mawaz yang berkata: bahwa ayat ini menunjukan kewajiban menafkahi anak bagi kedua orang tuanya (ibu dan bapaknya) menurut pembagian warisan.
Kemudain ia menerangkan pembacaan lain dari ayat ini bahwa Abu mu'adz membaca lafadz ((لينفق dengan lam nashob (لام كي) dan memfatahkan harakat qaf (sehingga dibaca liyunfiqo : penulis). dan Ibnu abi 'Ablah membaca lafadz (قدر) dengan tasyid pada huruf dal.
Al-Alusi pun menerangkan bahwa ayat ini menjadi dalil bahwa hubungan pernikahan (akad nikah) tidak rusak hanya disebabkan ketidakmampuan suami menafkahi istrinya, pendapat ini sejalan dengan pendapat abu hurairah, Ibnu al-Musayab, Umar bin abdul aziz, Abu Hanifah, Hasan, Imam Malik, Imam Syafi'i dan imam Ahmad. Sedangkan menurut Ishaq hubungan pernikahan rusak bisa disebabkan ketidakmampuan suami dalam nafkah dan harus ada percerayan diantara suami istri.
- Sedangkan Syeikh Thonthowi dalam tafsir al-wasitnya memberikan interpretasi lebih kepada hikmah bukan pada sudut pembacaan lafadz atau hukum fiqh. Dalam karyanya ia menyebutkan bahwa ayat ini adalah sebuah manhaj/metode yang diajarkan Allah swt agar hambanya hidup dalam ketentraman.
-Pertama ia menjelaskan makna infak yang berarti : membelanjakan harta dalam berbagai kebaikan yang telah allah halalkan. Seperti makanan, minuman, pakaian, dan memberikan sesuatu kepada yang berhak.
-Memaknai lafadz (سعة) berarti : kemapanan harta dan kelapangan rizki. maka arti tafsir dari ayat لينفق ذو سعة من سعته)) yaitu : terhadap setiap orang yang allah berikan kelapangan dalam harta dan rizki hendaklah nafkahkan harta itu dan janganlah bakhil, karena bakhil adalah sifat buruk, terutama bagi orang-orang kaya. Dan jangan pelit dalam menafkahi istri dan anak-anakmu.
-seperti halnya al-alusi, Syeikh Thonthowi memberi makna (قدر) sebagai kesempitan rizki. maka berikanlah nafkah sesuai apa yang didapat karena allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.
-kemudian beliau menuliskan sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwasannya Umar bin khottob bertanya tentang kelakuan Abu ubaidah. Umar berkata : sesungguhnya ia (Abu Ubaidah) seorang yang selalu memakai pakaian kasar, dan memakan makanan yang keras kemudian ia menawarkannya uang sebanyak seribu dinar. Umar berkata kepada rosulullah : lihatlah wahai rosul apa yang ia perbuat jika ia ambil uang itu, maka setelah uang itu ia ambil, Abu ubaidah tidak lagi memakai pakaian kecuali pakaian yang lembut dan makan makanan yang lezat. Maka datanglah rosul dan mengabarkan perihal abu ubaidah. Maka berkatalah umar : Allah telah merahmati abu ubaidah, sungguh dia telah mengamalkan ayat ini:
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما اتاه الله))
.
-kemudian beliau juga menafsirkan ayat : ( سيجعل الله بعد عسر يسرا) bahwa allah swt dengan karunianya dan kebaikannya akan menggantikan kesusahan dengan kemudahan, dan kelapangan setelah kesempitan, serta kekayaan setelah kemiskinan bagi hambanya yang ia kehendaki, karena hanya allah yang melapangkan rizki bagi yang ia kehendaki dan sesungguhnya ia sangat mengetahui keadaan hambanya.
- وعلي المولود له رزقهن و كسوتهن بالمعروف ،لا تكلف نفس الا وسعها لا تضار والدة بولدها ولا مولود له بولده وعلي الوارث مثل ذلك.....الخ (البقرة : 233)
Artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian. (QS. Al-Baqoroh : 233)
اسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولأ تضاروهن لتضيقوا عليهن (الطلأق:6 )-
Artinya : Tempatkanlah mereka (para Istrimu) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di thalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.
Sedangkan Hadits tentang kewajiban menafkahi istri seperti yang dikisahkan sahabat Jabir bahwa rasulullah saw bersabda:
اتقواالله في النساء، فانهن عوان عندكم، أخذتموهن با مانة الله واستحللتم فروجهن بالمعروف بكلمة الله، ولهن عليكم رزقهن و كسوتهن
"Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita (istri-istrimu). Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian"
- Kewajiban nafkah terhadap keluarga.
- Kewajiban Usul menafkahi Furu'
Yang dimaksud Furu adalah : Anak laki-laki dan anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan sampai berlanjut ke cicit dan seterusnya. Dan yang dimaksud Usul adalah : Seorang Bapak, Kakek, bapak dari kakek dan seterusnya, juga ibu, nenek, ibu dari nenek dan seterusnya. tetapi ulama fiqh dalam hal ini tetap memprioritaskan seorang Bapak sebagai Usul yang mempunyai kewajiban nafkah sebelum Usul-usul yang lain.
Kewajiban nafkah ini berdasarkan al-Qur'an dan Hadits.
Dalil al-Qur'an surat al-baqoroh ayat 233.
وعلي المولود له رزقهن و كسوتهن بالمعروف ،لا تكلف نفس الا وسعها لا تضار والدة بولدها ولا مولود له بولده وعلي الوارث مثل ذلك.....الخ (البقرة : 233)
Al-alusyi Dalam tafsirnya menyatakan bahwa lafadz (المولود له) adalah untuk seorang ayah, kenapa demikian karena seorang anak terlahir karenanya dan garis keturunan pun selalu dinisbahkan kepada seorang ayah. Kata ( المعروف) di dalam ayat ini bermakna memberi nafkah yang sesuai/layak dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak keterlaluan (kurang layak). Ayat ini sebagaimana kita ketahui secara konteks merupakan dalil kewajiban nafkah terhadap bapak kepada istrinya karena di dalam ayat ini memakai lafadz (ala) yang bermakna "diwajibkan terhadap". Tetapi ayat ini pun menjadi dalil kewajiban ayah menafkahi anak-anaknya karena teks al-qur'an memakai kata (al-maulud lahu) dan tidak memakai kata (al-waalid) ini menunjukan bahwa kewajiban ayah menafkahi istrinya berdasarkan ilat/alasan para istri adalah (walidat) yaitu yang melahirkan anaknya . Maka alasan kewajiban nafkah disini karena mereka (para istri) adalah :melahirkan anaknya. Maka ketika nafkah wajib kepada istri (yang melahirkan anaknya) maka wajib pula menafkahi seorang yang terlahir darinya yaitu anak.
Sedangkan Syeikh thanthowi menambahkan rahasia dibalik lafadz (المولود له) kenapa al-Qur'an tidak memakai lafadz (الوالد) jika maksudnya seorang bapak, beliau mengutip perkataan zamakhsyari dalam tafsir al-kasyafnya bahwa hal ini untuk memberitahu bahwa sebenarnya para ibu melahirkan anak-anaknya untuk para bapak, karena sejatinya anak adalah milik bapaknya, maka manusia selalu menisbahkan anak-anaknya kepada bapaknya bukan kepada ibunya.
Dalam penafsiran kalimat(وعلي الوارث مثل ذلك ) syekh Thanthowi sepakat dengan al-Alusyi bahwa lafadz (ذلك) menjadi ma'tuf dari kalimat (وعلي المولود له رزقهن) yang mengartikan bahwa: Para ahli warits dari seorang bapak (jika si bapak tersebut meninggal atau tidak mampu bernafkah) diwajibkan pula untuk menggantikan tugas seorang bapak dalam hal menafkahi si anak dan dalam hal menjauhi dhoror (bahaya) dan Alusy menyatakan bahwa tafsir ini ma'tsur (riwayat) dari Umar, dan Qotadah.
Sedangkan Dalil dalam hadits rasulullah SAW yaitu apa yang di riwayatkan oleh imam bukhori dan muslim dari aisyah rodiyallahu'anha: bahwasannya Hindun binti 'utbah berkata kepada rasulullah: wahai rasulullah sesungguhnya abu sufyan adalah seorang yang rakus, dia tidak memberikan nafkah yang mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali aku mengambilnya sendiri tanpa sepengetahuan dia (mengambil diam-diam). maka berkatalah rasulullah : ambilah(dari suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.
Syarat-syarat yang membuat seorang ayah wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya sebagai berikut:
- Seorang anak dalam keadaan miskin. Jika anak dalam keadaan kaya maka ia wajib menafkahi dirinya sendiri dari kekayaannya itu. Karena asal dari nafkah adalah adanya kebutuhan.
- Seorang anak tidak mampu untuk mencari nafkah dikarenakan masih kecil, cacat fisik atau mental, atau seorang anak dalam keadaan menuntut ilmu dan tidak memungkinkannya untuk mencari nafkah. Juga seorang anak perempuan, karena seorang ayah wajib menafkahi anak perempuannya sampai ia menikah. Karena setelah menikah kewajiban menafkahinya telah beralih kepada suaminya.
- Seorang anak dalam keadaan merdeka (bukan seorang budak) karena nafkah seorang budak adalah tanggung jawab majikannya.
- Seorang ayah dalam keadaan merdeka (bukan seorang budak) karena seorang budak baik dirinya ataupun hartanya adalah milik majikannya.
Selanjutnya manakala seorang ayah sudah tidak mampu mencari nafkah dikarenakan sakit, pikun, dan sebagainya dari hal-hal yang tidak memungkinkannya mencari nafkah. Maka gugurlah kewajiban nafkah terhadapnya maka keberadaannya dianggap tidak ada, dan kewajiban menafkahi anak-anaknya beralih kepada Usul dan kerabat yang lain.
- Kewajiban Furu' menafkahi Usul
Didalam fiqh Islam Seorang Furu diwajibkan menafkahi Usulnya jika memenuhi syarat berikut ini:
- Usul dalam keadaan miskin, jika ia dalam keadaan kaya maka nafkah merupakan kewajiban terhadap dirinya dari kekayaannya tersebut. Dan tidak wajib bagi seorangpun dari Furu' untuk menafkahinya.
- Furu' memiliki kemampuan dalam mencari nafkah.
Dalil al-Qur'an tentang kewajiban Furu menafkahi usul antara lain.
وقضي ربك الأ تعبدو الأ ايا ه وبالوالدين احسانا (الاسراء :23)
Artinya:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamau jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya (QS. Al-Isra :23)
واعبدوا الله ولأ تشركوا به شيا وبالوالدين احسانا (النساء :36)
Artinya:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklahlah kepada kedua orang tuamu (QS. An-nisa : 36)
Dua ayat diatas adalah sebuah perintah dari Allah agar tidak menyekutukan-Nya dan perintah ini langsung diikuti perintah berbuat baik (ihsan)terhadap kedua orang tua, dan dari bentuk berbuat baik adalah memberikan nafkah kepada keduanya.
Al-Alusi mengatakan merupakan bentuk ihsan yang diperintahkan allah yaitu agar seorang anak selalu bersedia berkhidmah kepada keduanya, tidak meninggikan suara dihadapannya atau membentaknya, tidak berkata kasar kepadanya, serta berusaha dalam mewujudkan keinginannya dan memberikan nafkah kepada keduanya sesuai kemampuan.
Syekh Thanthowi menjelaskan bahwa disandingkannya perintah ihsan kepada kedua orang tua setelah perintah tauhid kepada Allah swt, dikarenakan kedua orang tua telah ditempatkan di posisi kedua dalam memuliakannya dan mentaatinya setelah taat kepada Allah swt. Karena kedua orang tua menjadi sebab langsung adanya kita didunia ini. Kecuali jika mereka mengajak kepada syirik maka Allah memberikan perintah untuk tidak mentaatinya.
و ان جا هداك علي أن تشرك بي ما ليس لك به علم فلأ تطعهما وصاحبهما في الدنيا معروفا واتبع سبيل من اناب الي
( لقمان : 15)
Dan banyak sekali hadits-hadits yang mengungkapkan pentingnya mentaati dan berbuat baik kepada kedua orang tua diantaranya hadits yang diriwayatkan at-turmudzi dari abdullah bin amr bahwa rasulullah saw bersabda:
رضا الله في رضا الوالدين وسخط الله في سخت الوالدين
Didalam hadits lain yang diriwayatkan ibnu Majah dari jabir dengan sanad shohih bahwa rasulullah saw bersabda:
أنت و مالك لأبيك
Maka merupakan pemandangan yang miris jika ditengah masyarakat kita masih ada seseorang yang hidup berkecukupan sedangkan dibalik itu kedua orang tuanya berada dalam kehidupan serba kekurangan. dan satu hal yang perlu kita ingat bahwa didalam fiqh Islam dalam hal nafkah tidak disyaratkan kesamaan agama antara furu' dan Usul, maka dalam Islam justru masing-masing dari Usul dan Furu memiliki kewajiban nafkah satu sama lain walaupun berbeda agama. maka seorang seorang ayah muslim wajib menafkahi anaknya yang non muslim. Begitu juga seorang anak yang muslim wajib menafkahi ayahnya yang non muslim ketika memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan.
- kewajiban nafkah terhadap kerabat (dzawil arham)
Yang dimaksud dzawil arham disini adalah semua kerabat yang muhrim (haram untuk dinikahi) dan tidak termasuk Usul dan Furu'. Mereka ini mencakup : Saudara kandung, saudara ayah (paman dari ayah) saudara ibu (paman dari ibu), saudari kandung, bibi dari ayah dan bibi dari ibu.
Perbedaan pendapat ulama tentang hukum menafkahi kerabat:
- Ulama madzhab Hanafi dan Hambali mereka mewajibkan nafkah ini.
- Sedangkan Ulama madzhab Syafi'i tidak mengkategorikan nafkah kerabat ini kepada nafkah yang wajib.
Perbedaan pendapat mengenai hukum nafkah dzawil arham ini kembali kepada perbedaan interpretasi kalangan syafiiyah dan Hanafiyah dalam ayat dibawah ini.
والوالدات يرضعن أولأدهن يرضعن اولادهن حو لين كا ملين لمن اراد ان يتم الرضاعة وعلي المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف لا تكلف نفس الا وسعها لا تضار والدة بولدها ولا مولود له بولده وعلي الوارث مثل ذلك.....الخ (البقرة : 233)
- Ulama kalangan Syafi'iyah memberikan interpretasi pada ayat (وعلي الوارث مثل ذلك)Bahwa isim isyarat (( ذالك kembali kepada ayat (لا تضار والدة بولدها), oleh karena itu maka tafsiran ayat (وعلي الوارث مثل ذلك) bermakna : agar ahli warits memberikan nafkah kepada si anak dan tidak memudharatkan terhadap si anak itu -seperti halnya peran seorang bapak- ketika si bapak itu tidak ada (tidak mampu memberikan nafkah). Dan tafsiran mereka ini merujuk kepada perkataan ibnu Abbas yang notabene sebagai salah satu sahabat rasulullah yang menjadi rujukan tafsir al-Qur'an. maka mereka tidak menemukan dalam ayat ini indikasi sebuah kewajiban menafkahi ahli warits (dzawil arham) selain Furu' dan Usul.
- Tetapi ulama Hanafiyah memberikan interpretasi bahwa isim isyarat (( ذالك kembali kepada ayat (وعلي المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف) maka mereka memberi makna bahwa ayat (وعلي الوارث مثل ذلك )bermakna : terhadap ahli warits (termasuk dzawil arham) kewajiban memberi nafkah kepada mereka, seperti halnya kewajiban nafkah terhadap istri dan anak-anaknya. Dan pendapat mereka ini dinisbahkan kepada perkataan Umar bin Khatab dan jaid bin tsabit dan para ulama-ulama salaf.
Terlepas dari perdebatan mengenai hukum nafkah kerabat di atas, sebenarnya al-Qur'an dan al-Hadits telah menyuruh kita gar selalu berbuat baik kepada kerabat, dan diantara bentuk ihsan/ berbuat baik yaitu memberikan nafkah kepada mereka.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Miqdam bin mu'di berkata: aku mendengar rasulullah saw berkata: sesungguhnya allah mewasiatkan kamu untuk berbuaat baik kepada ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu (tiga kali : penulis), kemudian bapakmu, kemudian kepada kerabatmu. Hadits inipun telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh al-Hakim.
Syarat-syarat yang mewajibkan nafkah terhadap kerabat.
- Persamaan agama, syarat ini bukan berarti ketika ada kerabat yang berlainan agama kita mencegah untuk membantunya. Yang dimaksud para ulama memberikan syarat ini adanya perbedaan agama telah menjadikan nafkah kerabat tidak lagi menjadi sebuah kewajiban. Tetapi menjadi hal yang boleh-boleh saja (mubah).
- Kerabat termasuk yang muhrim seperti : paman, saudara kandung, anak saudara kandung(keponakan), bibi dari ibu,bibi dari ayah paman dari bapak dan paman dari ibu. Tetapi jika kerabat yang bukan muhrim seperti : anak perempuan paman (sepupu perempuan), anak laki-laki paman (sepupu laki-laki), atau muhrim tetapi bukan dari dzawil arham seperti saudara saudara satu susuan, maka nafkah terhadap mereka tidak wajib.
- Nafkah dalam bentuk yang sederhana (tidak memberatkan) karena jika termasuk perkara berat dan ia masih sanggup untuk mencarinya maka tidak wajib nafkah tersebut, karena nafkah kerabat adalah sebatas nafkah hubungan kekerabatan.
- Kerabat yang berhak tersebut dalam keadaan fakir dan tidak mampu untuk mencari nafkah dikarenakan masih usia kecil atau dikarenakan dia seorang perempuan. Atau sudah besar tetapi dia cacat seperti buta, tuli dsb. Karena hal ini membuat ia tidak mampu mencari nafkah.
- Kerabat tersebut tidak memiliki Usul atau Furu' yang mampu menafkahinya.
- Epilog
Begitulah sekilas terntang nafkah dalam bingkai Islam, tentunya masih banyak problematika seputar nafkah yang belum terbahas dalam makalah ini, baik dalam nafkah istri ataupun dalam nafkah keluarga dan kerabat. Dan dari sudut tafsir pun banyak sekali khazanah tafsir selain kedua tafsir ini (al-Alusi dan al-wasith) yang mengomentari ayat-ayat nafkah ini, baik dari sisi bahasa, hukum, maupun hikmah. Semoga pengkajian sekilas ini menjadi tetesan-tetesan air segar ditengah kehausan kita akan ilmu-ilmu Allah. Amin ya robbal 'alamin.